Berasal dari keluarga menak Minang. Ayah dan ibunya bercerai. Ia suka
sabung ayam namun tak suka adat Minang yang menomorduakan laki-laki.
Cintanya pada Zus Yo membawanya ke Batavia. Bung Karno dan Bung Hatta
menandatangani proklamasi mewakili bangsa Indonesia karena usahanya.
Chairul Saleh tak lama bersama-sama ibunya yang cantik bermata binar
dan ayahnya yang dokter di Sawah Lunto. Usia dua tahun ayah dan ibunya
memutuskan pisah. Chairul ikut ibunya ke Lintau. Di Lintau Zubaidah
binti Ahmad Marzuki sakit-sakitan, dan jadi pendiam, Chairul ikut ibunya
hingga usia 4 tahun dan ia lantas diasuh uwaknya Suleiman Rajo Mudo di
Lubuk Jantan pada 1920. Ayahnya Achmad Shaleh membina keluarga baru
dengan Nurisam dan tugas di Medan.
Tanpa diawasi orang tua, Chairul main suka-suka, ia suka mengadu ayam
jago. Jagoan kecil ini pandai berkawan dan dia bisa bermain kapan saja
dan di mana saja dia suka. Hal ini berlangsung hingga empat tahun, saat
ayahnya memintanya pindah dari kampung ke kota Medan. Ia lantas
dimasukkan ke Europese Lagere School (semacam SD).
Di Lintau dia bisa berbuat sesukanya namun tidak di Medan. Ada banyak
peraturan di kota, ia harus bisa sopan santun plus bahasa Belanda.
Suatu ketika ayahnya pulang kerja dan dia ditanya apa sudah makan. Chairul menjawab, “ik niet…ik mag niet” dan dia tak boleh bilang itu, jawabnya mustinya “nog niet.” bukan “tidak boleh” namun “belum.” Ia lantas mengulang-ulang nog niet dan dalam waktu tak lama ia mampu berdialog Belanda.
Chairul kecil tak nyaman di rumah Medan. Di samping banyak aturan dia
sering mendengar ibunya digunjingkan, ia juga tak suka budaya Minang
yang mendidik laki-laki menjadi tidak jantan. Hal ini ditutup dengan
kelembutan Nurisam yang tak membedakan Chairul dengan anak-anak
kandungnya. Ia mendongeng untuk semuanya ketika anak-anak hendak tidur.
Ada satu hal yang tak dilupakan dalam keluarga ini ketika Chairul
kecil. Suatu musim hujan ia mengingini buah pepaya masak di pekarangan
rumahnya. Ia tak diperbolehkan memanjatkan karena bajunya akan kotor.
Chairul tak kehabisan akal, ia memanjat dengan telanjang bulat. Kejadian
ini diketahui oleh ayahnya saat bangun dari tidur siang. Pantatnya
dicambuk dengan kembang sepatu hingga merah biru seperti habis dikerok.
Walau dikenal keras hati dan melakukan apa saja yang dia ingini namun
di mata adik-adiknya Chairul adalah kakak pelindung. Ia tak mau
adik-adiknya diperlakukan keras seperti dia. Suatu ketika dia bilang
pada ayahnya, “dulu kami begitu takut padamu, kayak lihat harimau!
Hafidz (salah satu adiknya) jangan Papa hajar seperti saya ya, Pa?”
Chairul saleh pindah Europese Largere School di Bukit Tinggi saat
ayahnya pindah tugas. Bangunan sekolah ini ada di dekat jam gadang. Di
sini ia sudah tidak dikeloni mamanya. Dia tak suka dengan anak-anak
Belanda dan sering berkelahi dengan mereka. Lulus dari ELS ia pindah ke
Hoge Burgerlijke School (HBS) di Pasti Alam, Medan. Ia masih
menunjukkan sayang pada adik-adiknya saat remaja. Ia kasih kopernya
buat Hafidz dan juga beri minyak rambut paling keren saat itu Stacomb.
Di buku Chairul Saleh Tokoh Kontoversial karya Irna H.N.
Hadi Soewito, menulis Chairul remaja suka mengerjai adiknya, salah satu
yang paling diingat Ayi (salah satu adiknya) adalah saat Chairul bangun
tidur. Ia meminta Ayi beli makan:
“Tolong dong Yi beli nasi,”
“Mana uangnya?”
“Di kantong”
“Di kantong mana?”
“Ya di situ.” Ayi lantas merogoh kantong dan merasakan sesuatu yang aneh.
“Hai ini apa?” Tanya Ayi ingin tahu.
“Oh, itu kalau pilek, taruh hidung.”
Ayi lantas mendekatkan barang itu ke hidung. “Ditaruh begini,” kata
Ayi sembari mendekatkan ke hidungnya. “Jangan! Jangan!” Kata Chairul.
Setelah beberapa tahun Ayi baru tahu kalau itu kondom.
Bila libur tiba Chairul pulang ke Bukittinggi, ia suka menghabiskan
waktu berenang di sungai Tabang. Ia suka saat seperti itu karena banyak
pelajar yang belajar di Jawa juga pulang. Salah satunya adalah Yohana
Siti Menara Saidah, gadis manis putri Tuan Lanjumin Datuk Tumanggung
dengan Masnin. Gadis ini sekolah di Batavia.
Perkenalan dengan Yohana ini bikin Chairul tak bergairah sekolah di Medan, ia lantas pindah ke Batavia di sekolah Koning Willem Drie (KW III) atau HBS 5 tahun, di jalan Salemba.
Ia hanya punya tiga stel pakaian namun selalu rapi dan memakai sepeda
butut namun di mata perempuan dia adalah sosok yang menarik, kecuali
tubuhnya yang gemuk, bibir tebal dan mata sedikit juling.
Di Batavia hubungannya dengan Yohana semakin lengket. Namun tak
direstui orang tua Yohana. Orang tua Yohana bilang kalau keluarga
Chairul punya penyakit jiwa keturunan. Belakangan diketahui masalahnya
adalah persaingan dua keluarga ini memperebutkan posisi anggota Volksraad. Ceritanya, dokter Saleh yang nasionalis dicalonkan sebagai anggota namun yang jadi Datuk Tumenggung.
Pada 1940 Chairul dan Zus Yo, sapaan akrab Yohana, berbulat tekat
untuk menikah. Mereka melangsungkannya di rumah uwaknya Datuk Sulaiman
Rajo Mudo di Lubuk Jantan. Tak seorang saudaranya yang datang. Saat itu
papanya sedang sakit.
Sejak saat itu dia ia tak lagi dapat kiriman uang dari ayahnya. Untuk
kebutuhan sehari-hari ia mengandalkan kiriman dari kakeknya dan adik
papanya. Pengalaman pahit masa kanak-kanak menjadikannya berwatak keras
dan teguh pendirian. Ia tampak jelas pada sikap-sikapnya saat dewasa.
Dari Teks Proklamasi Hingga Batas Laut Saat Jepang kalah dari Sekutu, Chairul Saleh adalah tokoh pemuda yang
sangat menonjol di angkatan 45. Dia bersama Sukarni adalah pasangan
yang memegang peranan penting dalam penentuan jalannya proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Chairul Saleh menggerakkan massa pemuda pelajar
untuk mematangkan situasi, sedang Sukarni menggerakkan para perwira Peta
untuk mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Otak penculikan
Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok adalah mereka berdua. Sukarni dan Chairul menawarkan teks proklamasi sebagai berikut, “Bahwa
dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Segala badan-badan pemerintah
yang ada harus direbut oleh rakyat, dari orang-orang asing yang masih
mempertahankannya.”
Teks ini tak memuaskan Sukarno-Hatta. Alasannya, mereka khawatir
Jepang akan menghajar rakyat habis-habisan. Sayuti Malik yang mengetik
naskah itu dan akhirnya teksnya menjadi:
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain
diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya”.
Chairul dan Sukarni ingin perebutan total kemerdekaan oleh rakyat
namun Soekarno mempertimbangkan reaksi Jepang bila hal itu dilakukan.
Tak hanya soal paragraf proklamasi yang jadi perdebatan, namun juga
siapa yang akan menandatangani teks proklamasi.
Untuk penandatanganan, Chairul Saleh, sesuai rapat sebelumnya di
Manggarai menunjuk enam namauntuk menandatangani, namun rapat proklamasi
menghendaki semua yang hadir untuk tandatangan. Sukarni keberatan
mencampurkan enam orang tadi dengan mereka yang namanya berhubungan
denganJepang. Ia lantas mengusulkan Sukarno-Hatta untuk menandatangani.
Usul ini yang dipakai.
Chairul Saleh terkenal tak mau kompromi dengan prinsipnya. Saat
konferensi meja bundar misalnya, ia tak sepakat dengan hasil konferensi
ini yang dianggap merugikan Indonesia. Chairil lantas masuk hutan
memimpin laskar rakyat berjuang melawan Republik Indonesia Serikat. Pada
1950 Chairul ditangkap kolonel Nasution dan dibuang ke Jerman. Di sana
ia sekolah Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat 1952-1955. Di
sini, ia menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI). Ia pulang saat Bung Karno mengawali Demokrasi
Terpimpin.
Selama bersama Sukarno ia menduduki banyak jabatan, mulai menteri
veteran, menteri perindustrian dasar dan pertambangan hingga wakil
perdana menteri III. Ia juga pernah diangkat jadi ketua MPRS.
Prinsip negara kepulauan dengan batas teritorial 12 mil laut adalah
idenya yang disahkan pada 13 Desember 1957. Prinsip ini disahkan
internasional jadi hukum laut di Montego, Jamaika pada 1982, setelah
Chairul Saleh meninggal dan memerlukan waktu 25 tahun. Ia tak mempunyai
keturunan bersama Zus Yo. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar